Sabtu, 11 Januari 2014

Cinta sang bidadari buat Alfi - 5

Paijo tidak tinggal diam. Di ambilnya sebotol minyak angin miliknya dan didekatkannya ke hidung Sandra. Namun sepertinya itu saja tak cukup.

“Hoekkkk!!…Hoeeeeekkk!!…” serangan itu kembali. Sebenarnya Paijo sudah cukup berpengalaman dan tahu bagaimana mengatasi situasi seperti ini tatkala mantan istrinya tengah mengalami hal yang sama dulu. Ia ingat ia selalu memberikan pijatan di sekitar pundak Surti. Tetapi ia agak ragu buat menyentuh Sandra. Sehingga ia hanya berdiri saja dengan kebinggungan di situ.

“Hoeeeeeeekk!!….aduuhhh Joo..” rintih si cantik itu. Sudah lebih dua menit metabolisme alami yang amat mengganggu itu tak juga kunjung reda malahan semakin menjadi-jadi. Tak ada yang bisa ia muntahkan lagi namun dorongan itu tak terhentikan. Dan hal itu mulai menyakitkan. Lama-kelamaan wajah Sandra yang putih menjadi semakin pucat. Akhirnya Paijo tak tahan lagi melihat penderitaan wanita yang sedang mengandung anaknya itu.. Dengan tangan gemetar diraihnya pundak Sandra.

“Hhhhh…” Sandra merasakan kenyamanan ketika jemari Paijo menekan syaraf-syaraf pundaknya. Sedikit demi sedikit Sandra kembali bisa bernapas lega. Hampir lima menit Paijo melakukan hal itu. Setelah yakin rasa mual Sandra benar-benar mereda, Paijo membimbingnya kembali ke kamar. Kemudian ia bergegas ke pantry menyeduhkan teh hangat buat Sandra.

“Nah, ibu istirahat saja dulu. Saya mau keluar sebentar” katanya sambil menyerahkan cangkir teh kepada Sandra. Belum sempat Sandra bertanya ia sudah menghilang.

Lima belas menit Sandra duduk sendiri di kamar itu. Sesekali ia menyeruput teh seduhan Paijo bila rasa mual itu kembali muncul. Entah mengapa ia belum ingin kembali ke kamarnya sendiri. Tak lama kemudian Paijo muncul sambil membawa sebuah mangkuk.

“Aww….rujaaak!” pekik Sandra girang. Entah dari mana Paijo memperolehnya di saat seperti ini, namun memang ini yang ia idamkan saat ini. Dengan cepat ia rebut mangkuk tersebut dari tangan Paijo. Pertama sepotong kecil mangga muda langsung dicomotnya. Rasa asam kecut yang melanda lidahnya bercampur sedikit rasa pedas itu dengan cepat memunahkan rasa mualnya. Paijo sendiri jadi ikut-ikut memeramkan mata karena ia tahu rasa buah itu memang sangat asam.

“Kok kurang pedas, Jo?”

“Lho itu tadi sudah di kasih cabe tiga biji kok bu”

“Masih kurang! Tambahin cabenya, Joo”” rengek Sandra.

“Saya tidak mau ibu malah sakit perut.”

“Sedikiiiit saja Joo”

“Tidak boleh!” jawab Paijo dengan tegas. Baru kali ini Sandra merasakan Paijo bersikap seperti itu padanya. Tapi ia justru senang sekali dengan perhatian anak itu padanya. Mereka duduk bersisian di tepi ranjang. Paijo dengan sabarnya menunggui Sandra menyantap rujaknya.

“Joo..” panggil Sandra sambil meletakan mangkuk yang telah kosong di atas meja di samping tempat tidur.

“Ya buu?”

“Terima kasih ya karena sudah mau repot buat aku”

“He he ndak apa apa kok buu..lagian kan ibu hamil gara-gara saya” jawab Paijo tersenyum malu.

“Oya Jo, Aku mau menanyakan sesuatu padamu”

“Tanya soal apa bu?”

“Eng..Sewaktu Surti hamil muda dulu apakah kalian …..melakukannya?”

“Melakukann apaa bu?”

“Uh em tidak jadi Jo. Sudah lupakan saja ” ujar Sandra merasa jengah sendiri.

“M..maksudd ibu n ngentott?” tanya Paijo hati-hati.

“he e ..” jawab Sandra lirih nyaris tak terdengar.

“Kenapa ibu tanyakan itu?”

“Soalnya aku sudahh tiga minggu tidak..” ujar Sandra sambil menggigit bibirnya sendiri. Sejak Paijo menyentuh lembut perutnya juga saat melakukan pemijatan tadi hasratnya semakin tak terkendali.

“I.buu..lagi kepinginn yaa?”

“Tapi a..ku takutt keguguran, Jo”

“Eng..Sebenarnya sewaktu Surti sedang hamil muda dulu kami sering melakukannya ” ujar Paijo mencoba mengingat-ingat kejadian saat dengan Surti dulu.

“Benarkah?”

“Iya. Malahan hampir setiap hari. Mulanya saya yang takut bakal terjadi apa-apa dengan kandungannya tapi karena Surti yang minta jadi saya terpaksa nurutin. Eh bu sebentar lagi pak Didiet kan pulang berarti kan sudah ndak masalahkan?.”

“Dia pasti sudah capek buat itu”

“Kalau begitu saya antar ibu ke bandara sekarang. Saya yakin kita masih dapat tiket buat ibu ke kota S”

“Tidak usah Jo”

“Lho kenapa bu?, saya pikir pak Didiet pasti ngasih izin ke ibu. Mumpung ini masih agak sore”

“Kamu salah mengerti Jo. aku bukannya ingin suamiku atau Alfi yang melakukannya. Aku ingin ..kamu, Jo”

“Sayaa bu?!” Tanya Paijo keget.

Jantungnya berdetak cepat. Seketika itu juga gairahnya meninggi dan celana usangnya menjadi sesak. Ia memang rindu sekali pada wanita cantik ini. Namun ia mendadak teringat perkataan Nadine kepadanya tempo hari. Ia tak ingin melakukan kesalahan lagi. Sandra mengangguk mengiyakan. Wajahnya bersemu dadu karena rasa malu semakin membuat Paijo tak tahan memandangnya.

“Tapii..buu saya sudah janji sama kang Alfi tidak bakal ngeganggu ibu lagi. Kemarinpun saya sudah sekali lagi berbuat salah sewaktu nidurin bu Nadine. Saya takutt salah lagi….” ujar Paijo berusaha bertahan. Ia tak ingin gegabah dan menuruti hawa nafsunya. Dan ia tak yakin akan keinginan Sandra ini. Yang ia tahu Sandra hanya tidur dengannya dulu itu hanya karena ingin hamil.

Apalagi sekarang sudah ada Alfi yang ia akui tak bakal mampu ia tandingi.

“Tidak apa-apa, Joo… Soal Nadine, engkau justru telah menolong dia dan saat ini pun aku tengah mengalami hal yang sama. Apakah engkau tidak kasihan terhadap diriku. Aku tersiksa sekalii akhir-akhir ini… ” pinta Sandra sebelum Paijo sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Buuu?” Paijo masih kebinggungan buat memutuskan. Ia sungguh tak tahu di titik mana ia harus bertahan.

“Intimi aku malam inii, ya kang mas?”

Paijo terkejut sekali. Sandra memanggilnya dengan sebutan ‘Kang Mas’?!. Itu adalah panggilan Surti kepadanya selama ini. Sandra tak pernah melakukan ini padanya sebelum-sebelum ini.

“Di.a.jenggg…akuu…akuu ” jawab Paijo.

Sandra tersenyum mendengar Paijo balas memanggilnya dengan sebutan itu. Ia paham apa yang harus ia lakukan dalam situasi seperti ini. Sandra dapat melihat dengan jelas tonjolan besar pada celana Paijo. Ia mendekat ke arah pemuda kampung yang kebinggungan itu. Wajah nan cantik itu maju hingga hanya beberapa inchi dihadapan Paijo.

Sandra memejamkan matanya sementara bibirnya yang merah merekah itu sudah terbuka menunggu kedatangan bibir Paijo. Naluri Paijo akhirnya mengatakan bahwa ini adalah saatnya buat ia bertindak. Meski mulanya agak ragu, Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Sandra.. seraya sedikit memiringkan kepalanya… Dan…

Hal itu terjadi….

Bibir Sandra memagut liar bibir Paijo. Kenyatannya selama tiga minggu tak bersetubuh dan hanya melakukan oral dengan Alfi dan Didiet tidaklah cukup buat meredam gairahnya dan menjadikan dirinya benar-benar haus akan belaian. Yang vaginanya sangat butuhkan adalah kenikmatan langsung dari sebuah alat vital pria. Dan penis Paijo yang sangat beruntung malam ini karena sebentar lagi bakal di lumat habis-habisan dan spermanya bakal di hisap sampai kering buat menuntaskan rasa dahaga vaginanya.

Kali ini ia tak lagi ragu buat melakukan hubungan intim.

Bukankah sebelum ia menyadari tentang kehamilannya itu dari Lila, ia dan Alfi selalu berhubungan intim di minggu-minggu awal kehamilannya dan hal itu tak menyebabkan permasalahan bagi janin pada kandungannya. Apalagi cuma melakukannya dengan Paijo. Ucapan Alfi ada benarnya. Titit Paijo memang tak bakalan bisa membentur rahimnya.

Paijo sendiri seakan masih tak percaya akan keberuntungan yang datang kepadanya saat ini. Ciuman dari Sandra telah menepis segala keragu-raguan hatinya. Ia sadar panggilan sayang yang diucapkan Sandra kepadanya hanyalah sebuah ungkapan rasa suka sesaat yang di dasari oleh nafsu birahi semata bukanlah sebuah rasa suka karena ada perasaan cinta seperti halnya Sandra terhadap Alfi. Sekalipun kini ia diberi hak yang sama dengan Alfi oleh Didiet untuk menikmati kemesraan dengan istrinya itu.

Dan Sandra sendiri saat ini suka rela ia intimi. Ataupun karena dialah yang telah berhasil menanamkan janin di rahim Sandra saat ini bukanlah Alfi. Namun semua itu tak dapat merubah perasaan Sandra. Sebab cinta sang bidadari itu memang hanya buat Alfi seorang. Tetapi Paijo sungguh bangga akan pencapaiannya saat ini. Seandainya saja dulunya ia lebih dahulu bertemu dengan Sandra ketimbang Alfi mungkin saja ceritanya akan menjadi lain. Perlahan Sandra menariknya naik ke atas tempat tidur tanpa melepas ciuman mereka.

Keduanya berdiri di atas lutut mereka. Wanita cantik itu mulai melepas satu persatu kancing kemeja lusuhnya. Setelah itu giliran celana pendeknya tertanggal. Napas Paijo semakin memburu ketika jemari halus Sandra mencengram gemas batang penisnya yang sudah kukuh bagai tonggak.

Bersambung . .  . .




Tidak ada komentar:

Posting Komentar