Sabtu, 11 Januari 2014

Bandung one night stand - 2

Aku gembira sekali karena tender yang kuurus berhasil. Setelah makan malam dengan klienku, aku kembali ke kamar hotelku. Sebenarnya aku ingin menikmati kota Bandung di malam hari, tapi kuurungkan niatku karena masih ada dua hari lagi aku di sana. Setelah menggosok gigi, aku mengenakan kaos oblong dan celana pendek lalu merebahkan diri di atas sofa sambil menonton acara di televisi. Ketika sedang mengganti-ganti channel TV, ponselku berdering. Rupanya Santi yang menelpon. Ia sudah berada di lobi hotel.

“Naik saja langsung ke kamar 225,” kataku.

“Oke,” sahut Santi.

Tak lama kemudian Santi masuk dan mengunci pintu kamarku. Gadis itu mengenakan kaos putih dan celana jeans warna hitam, tampak serasi dengan tubuhnya yang atletis. Ia membawa soft drink dan makanan ringan kesukaanku, kacang mede.

“Kirain nggak jadi datang,” kataku.

“Harus dong, kan celana dalamku masih ada sama kamu. Masak aku pulang ke Jakarta nggak pakai celana dalam,” seloroh gadis itu.

“Memangnya cuma bawa satu?”

“He-eh,” jawabnya singkat sambil tersenyum menggoda. Aku tahu ia hanya bergurau.

Sesaat kemudian kami sudah tenggelam dengan candaan dan gurauan ringan sambil makan kacang mede. Sesekali kami saling menyuapi, berbagi minum lalu main gelitik-gelitikan, persis seperti anak-anak ABG saja. Tapi itu membuatku merasa fresh lagi.

Pukul sembilan malam makanan kecil dan minuman kami sudah habis. Santi pamit ke kamar mandi. Aku mematikan lampu ceiling dan menyalakan lampu baca di meja sebelah tempat tidur. Aku masih menonton televisi. Tiba-tiba Santi duduk di pangkuanku dengan posisi mengangkangiku.

“Masih mau lanjutin yang tadi pagi?” bisiknya di telingaku. Nafasnya terasa panas menyulut gairahku. Belum sempat kujawab, Santi sudah melumat bibirku dengan bernafsu. Aku pun membalasnya dengan penuh nafsu pula. Bibir kami saling mengulum dan lidah kami saling mengait. Sementara kedua tangan Santi memeluk kepalaku, tanganku sudah menerobos masuk ke balik t-shirtnya.

Aku langsung mencari kancing BH di punggungnya. Sekali tarik saja kancing BH gadis itu sudah terlepas. Tanganku segera berpindah ke depan dan menemukan sepasang bukit kenyal dengan puncaknya yang mungil. Kusingkapkan ke atas t-shirt dan BH-nya, tampaklah sepasang buah dada yang putih montok namun tidak terlalu besar untuk ukuran gadis Indonesia.

Kuremas-remas dengan lembut onggokan daging mengkal sebesar buah apel Fuji itu dan kupilin-pilin putingnya yang mungil dan kenyal itu. Santi menggelinjang dan mendesah lirih. Secara bergantian kusapukan lidahku di atas buah dada gadis itu, kugelitik putingnya sambil sesekali kuhisap dengan keras. Desahan Santi makin panjang.

“Sshhhhh….aaaahhhh…” seperti desisan kobra Santi mendesis dan mendesah meresapi permainan lidahku di atas payudaranya. Tangannya meremasi rambut kepalaku sambil sesekali menekan kepalaku ke dadanya sehingga membuat wajahku tenggelam di atas buah dadanya yang empuk. Semakin lama kurasakan payudara gadis itu semakin mengeras dan putingnya semakin menonjol. Itu adalah tanda birahi gadis itu mulai naik.

Kutanggalkan t-shirt dan BH Santi, sementara ia juga menarik kaos oblong yang kukenakan. Bagian tubuh atas kami sudah telanjang sekarang. Kini giliran Santi yang agresif. Gadis itu menciumi leherku, menggelitik bagian bawah telingaku, lalu turun menjilati putingku yang kecil dan meremasi dadaku yang lumayan bidang. Bukan membuatku terangsang, malah membuatku geli. Aku tidak tinggal diam. Kuangkat tubuh Santi dan kubarangkan di sofa dengan punggung berada di sandaran sofa.

Kembali mulutku bermain-main di seputar dada gadis itu. Kuremas-remas buah dadanya yang semain lama semakin mengeras. Kupilin-pilin, kujilati dan kuhisap putingnya yang juga semakin mengeras sambil sesekali kugigit-gigit lembut. Santi mendesah-desah dibuatnya.

“Ouhhh…ouhh…aahhh..aahhh…shhhhh..” Tubuh gadis itu meliuk-liuk seperti cacing kepanasan.

Setelah puas bermain di sana, mulutku turun ke bawah dan menjilati perutnya, kemudian turun menggelitik pusarnya yang bersih. Kembali tubuh Santi meliuk-liuk, entah geli atau semakin terangsang. Kubuka kancing jeans gadis itu. Kutarik resletingnya lalu kutanggalkan segera. Tinggal celana dalam yang kini membungkus tubuh sexy itu. Itu pun tidak bertahan lama karena aku segera menariknya. Dan tampaklah tubuh Santi yang sexy itu polos tanpa sehelai kain menutupinya.

Kuciumi sepasang pahanya yang putih mulus, bersih tanpa ada cacat sedikit pun. Semakin lama mulutku semakin ke atas dan berhenti pada pangkal pahanya. Kutemukan seonggok daging terbelah tanpa bulu yang biasa menghiasi kemaluan orang dewasa.

“Rajin cukur ya?” tanyaku setengah berbisik yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Santi disertai senyuman manis dan pasrah.

Kesibakkan sepasang bibir luar atau yang biasa disebut labia mayora yang berwarna kehitaman. Di dalamnya kutemukan sepasang bibir dalam berwarna merah muda yang tipis dan halus dan sedikit basah, sehingga tampak mengkilap di bawah bias sinar lampu. Bagian itu dinamakan labia minora. Di ujung atas ada bagian yang kecil dan menonjol, itulah klitoris atau kelentitnya. Dari buku yang kubaca, bagian itu adalah bagian yang paling gampang terangsang. Maka akupun mendekatkan mulutku ke sana. Kusapukan lidahku pada bibir kecilnya lalu berhenti pada klitorisnya. Dengan ujung lidahku kugelitik bagian itu sambil sesekali kutekan-tekan, terasa semakin lama semakin menonjol. Benar saja, Santi semakin kepayahan dibuatnya.

“Ohhhh…ohhh…ahhhh…ahhhh…” desah Santi kenikmatan. “Terusin sayang…ohhh… enak sekali sayang…”

Pada bagian bawah ada lubang kecil tempat keluar air seni, itu adalah lubang kencing. Lalu di bawahnya ada lubang yang basah dan licin, itu adalah lubang senggama atau biasa disebut vagina. Dari lubang itu melelh air lendir birahi gadis itu. Lidahku berpindah ke sana menjilat cairan bening yang rasanya asin itu, lalu ujung lidahku menerobos masuk dan menggelitik rongga vaginanya.

“Ohhh…ohhh….aahhhhhhhh…” kembali Santi mendesah-desah kenikmatan.

Tangannya dengan kuat mencengkeram kepalaku dan membuat rambutku berantakan. Sesekali pahanya menjepit kepalaku sehingga mulutku semakin tenggelam dalam kemaluannya.

“Ohhh, Bagasss Sayanggg…aku sudah nggak tahan nih…” bisik Santi dengan nafas tersengal-sengal. Nampaknya ia sudah tak sanggup menahan gejolak birahinya yang semakin tinggi.

Aku melepaskan mulutku dari kemaluannya. Kuseka mulutku yang penuh lendir dengan punggung tanganku. Kemudian aku merebahkan diri di atas sofa sambil kutarik tubuh Santi untuk bangun. Gadis itu segera membuka celana pendekku berikut celana dalamku. Kini kami sudah sama-sama telanjang bulat. Pakaian kami berserakan di lantai. Kami tidak peduli lagi.

Santi segera menggenggam batang kemaluanku yang tegang mengacung dan berdenyut-denyut. Dengan lidahnya disapunya ujung penisku yang botak dan licin itu, aku menggelinjang dibuatnya. Tangan gadis itu dengan cekatan mengocok-ngocok batang kemaluanku. Sekali-sekali Santi mengulum penisku dalam mulutnya. Rasa hangat dan lembut membuatku semakin terangsang.

“Sudah sayang, yuk kita lanjutin,” bisikku menyudahi permainan itu.

Aku duduk tegak dan punggungku merapat pada sandaran sofa dengan kaki menjuntai ke lantai. Santi berdiri mengangkang di atas kedua pahaku yang merapat. Kutarik pinggangnya perlahan. Santi menurunkan pantatnya perlahan. Kupegangi batang kemaluanku agar mengarah ke lubang vagina gadis itu. Setelah tepat kutarik pinggang Santi dan ia pun menurunkan pantatnya makin rapat ke atas pangkuanku. Maka amblaslah kemaluanku menerobos masuk ke dalam lubang kemaluannya.

Santi mengangkat ke dua kakinya ke atas sofa dan merebahkan tubuhnya ke arahku. Dengan berpegangan pada sandaran kursi dan aku menahan pantatnya dengan kedua tanganku, Santi mulai bergerak naik turun. Kemaluanku dengan sendirinya keluar masuk dengan teratur. Tapi posisi itu tidak berlangsung lama, karena kami jadi tidak leluasa beraksi.

Santi merubah posisi masih tetap di atas, tapi kali ini kami saling berhadapan. Santi mencondongkan tubuhnya ke arahku dan bertumpu pada sandaran sofa. Kembali ia menggerakkan pantatnya naik turun. Sementara aku memegangi pinggangnya sambil sesekali menekan dan menahannya beberapa detik sehingga penisku menerobos semakin dalam.

“Ohhhhh…..” setiap kali aku melakukan itu, Santi mendesah panjang. Ia pasti merasakan batang kemaluanku menembus sampai ke permukaan rahimnya. Dan aku yakin ia merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Sepuluh menit sudah berlalu, tapi kami sama-sama belum mau orgasmu. Kuangkat tubuh Santi tanpa melepaskan kemalun kami. Santi memelukku erat sekali saat aku menggendongnya, sehingga kemaluan kami seolah lengket karena berpaut begitu erat.

“Ouw..ouw…ahhhhh” jerit-jerit lirih Santi tertahan ketika aku menggendong dan membawanya ke tempat tidur. Kemaluanku melesak-lesak dalam vagina Santi ketika aku berjalan.

Sesampainya di tempat tidur kurebahkan tubuh Santi dengan pantat tepat berada di tepi ranjang. Dengan posisi Santi tidur dan aku berdiri, aku lebih leluasa beraksi. Santi menarik bantal untuk mengganjal kepalanya. Kubka kedua paha gadis itu sehingga kemaluanku lebih leluasa lagi bergerak keluar masuk. Semakin lama lubang vagina Santi semakin licin oleh lendir birahinya.

“Crett..cruttt…” suara kemaluan kami yang beradu seolah irama yang merdu mengiringi kami menuju ke puncak asmara. Aku terus bergerak dengan teratur. Semakin lama gerakan ku semakin cepat. Tubuh kami sudah bermandikan keringat meskipun kamar itu ber-AC.

Setengah jam telah berlalu, ketika Santi tiba-tiba memekik. “Ohhhh..aku mau keluar, sayang…”

Segera kudorong tubuh Santi ke tengah ranjang, kami melakukan gaya missionari. Kedua kaki Santi terangkat lalu mengait pinggangku. Aku jadi tidak bisa bergerak. Kini giliran ia yang bergerak berputar-putar. Kemaluanku melesak-lesak dibuatnya. Tak lama akupun mulai merasakan tanda-tanda akan orgasme.

“Ayo sayang, keluarin saja. Aku juga mau keluar,” kataku.

Santi semakin cepat bergoyang. Dan tak lama kemudian ia memelukku erat-erat. Akupun membalasnya. Tubuh kami bagai menyatu. Kemaluan kami seperti lengket. Sesaat tubuh kami sama-sama mengejang. Sedetik kemudian penisku menembakkan air mani berkali-kali yang segera disambut dengan lendir birahi gadis itu. Rongga vagina Santi terasa banjir oleh cairan bahagia kami yang menyatu.

Kami masih berpelukan erat selama beberapa menit, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja mencapai puncaknya. Sembari mengatur nafas kami yang tidak beraturan. Aku menggulingkan badanku dengan posisi Santi di atas. Kemaluan kami masih menyatu. Tidak kami lepaskan sampai kami tertidur.

Bersambung . . . . .




Tidak ada komentar:

Posting Komentar